Minggu, 03 Juni 2012

Sebentar Lagi

    Sebentar, sebentar lagi sayang.

    Jarum di dinding ini sebentar lagi dipertemukan.

    Menepatkan janji.

    Menambatkan hati kosongku dengan lenguh panjang.

    Sebentar lagi keretaku datang.

    Dari jauh, menjemput dirimu yang dahulu terbungkam.

    

    Sabar, sabarlah sayang.

    Pengap atap ini tidak akan lama.

    Derap jantung ini tidak akan membuat kecewa.

    Sabar, sabarlah.

    Sandarkan dirimu, pagar ini menjaga limbungmu.

    Sampai ketika nanti, kereta pujaanmu datang.

    Dari jauh, menjemput dirimu yang sempat tertelan waktu.

    
 Aku Ingin Tetap Diperbolehkan Menulis, Usia


Birdy sedang melantunkan Skinny Love milik Bon Iver ketika aku memaksa malasku menulis ini.

Menulis apa?

I tell my love to wreck it all…

Sejak kapan aku menulis seperti ini?

Lucu sekali ketika (pada akhirnya) aku sadar, apapun yang manusia ucapkan, yang aku tulis, bukan tidak mungkin membawa penghakiman. Ya, aku sudah merasakannya dulu. Jauh sebelum aku memakai otak untuk mengalahkan getir yang lebih mengerikan dari pemalak di Alun-alun Magelang, dulu. Apa yang aku ucapkan secara lisan, yang aku ucapkan lewat tulisan adalah apa yang mestinya aku rasakan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana cara agar apapun yang aku rasakan dapat aku tulis dengan ideal. Ideal menurutku tentunya.

Mengapa kata “cinta” itu harus kubunuh? Bukankah aku manusia, sama sepertimu?

Kembali ke masa dimana istilah remaja begitu menyenangkan. Jatuh cinta, patah hati. Siapa yang tertawa membaca kata-kata barusan? Siapa yang melewatkan episode hidup dengan kalimat macam “Oh Adinda, aku sayang banget sama kamu. Aku ngga bisa hidup tanpamu. Jangan pernah tinggalin aku ya.” ? Iya, iya, aku juga pernah melakukannya juga. Blarrrrrr!!! Tentu aku harus mengaku sejauh itu, paling tidak untuk meyakinkan kalian bahwa aku manusia juga meski kadang merasa bahwa aku ini benda mati dan wajib menyetel Creep’nya Radiohead sebagai lagu latar. Bolehlah kalian mengejekku jika bertemu, sama seperti aku mengejek calon presiden mahasiswa di kampusku yang entah mengapa selalu memberi kesempatan untuk kujelek-jelekkan.

“Aku ngga tahu kenapa, aku ngga bisa ngilangin perasaanku ke kamu, kamu, juga kamu yang di sebelah sana.”

“Tolong kasih aku kesempatan sekali lagi, please… Aku laper nih, maem yuk, bayarin ya.”

“Kamu udah aku kasih kesempatan, tapi kayak gini caramu ngebales sayangku yang justru lagi gede-gedenya, segede perut Mama Dedeh?”

“Kamu tahu sayang, hanya kamu belahan jiwaku. Hanya kamu yang mau minjemin aku uang ketika aku kalah judi.”